Oleh
Syaikh
Muhammad Nashiruddin Al-Albani
Kiranya
ada gunanya di sini saya paparkan sebagian atau seluruhnya
ucapan-ucapan yang saya ketahui dari mereka. Semoga kutipan ini dapat
menjadi pelajaran dan peringatan bagi mereka yang taklid kepada para
imam atau kepada yang lainnya dengan cara membabi buta,[1]
dan berpegang pada
madzhab dan pendapat mereka seolah-olah hal itu seperti sebuah firman
yang turun dari langit. Allah berfirman.
"Artinya : Ikutilah oleh
kalian apa yang telah diturunkan kepada kalian dari Tuhan kalian dan
janganlah kalian mengikuti pemimpin-pemimpin selain Dia. Sungguh
sedikit sekali kamu ingat kepadanya".
(Al-A'raf : 3)
Berikut
ini saya paparkan pernyataan para Imam Madzhab.
1.
Abu Hanifah
Rahimahullaah
Imam
madzhab yang pertama adalah Abu Hanifah Nu'man bin Tsabit. Para
muridnya telah meriwayatkan berbagai macam perkataan dan pernyataan
beliau yang seluruhnya mengandung satu tujuan, yaitu kewajiban
berpegang pada Hadits Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dan
meninggalkan sikap membeo pendapat-pendapat para imam bila
bertentangan dengan Hadits Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. Ucapan
beliau.
- [A] "Artinya : Jika suatu Hadits shahih, itulah madzhabku". [2]
- [B] "Artinya : Tidak halal bagi seseorang mengikuti perkataan kami bila ia tidak tahu dari mana kami mengambil sumbernya" [3]
Pada
riwayat lain dikatakan bahwa beliau mengatakan : "Orang yang
tidak mengetahui dalilku, haram baginya menggunakan pendapatku untuk
memberikan fatwa". Pada riwayat lain ditambahkan : "Kami
hanyalah seorang manusia. Hari ini kami berpendapat demikian tetapi
besok kami mencabutnya".
Pada riwayat lain lagi dikatakan : "Wahai Ya'qub (Abu Yusuf),
celakalah kamu ! Janganlah kamu tulis semua yang kamu dengar dariku.
Hari ini saya berpendapat demikian, tapi hari esok saya
meninggalkannya. Besok saya berpendapat demikian, tapi hari
berikutnya saya meninggalkannya".[4]
- [C] "Artinya : Kalau saya mengemukakan suatu pendapat yang bertentangan dengan Al-Qur'an dan Hadits Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, tinggalkanlah pendapatku itu". [5]
_________________
[1]
Sikap taqlid inilah yang disindir oleh Imam Thahawi ketika beliau
menyatakan : "Tidak akan taqlid kecuali orang yang lemah
pikirannya atau bodoh". Ucapan ini dinukil oleh Ibnu Abidin
dalam kitab Rasmu Al-Mufti
(I/32), dari kitab
Majmu'atul Rasail-nya.
[2]
Ibnu Abidin dalam kitab Al-Hasyiyah
(I/63) dan Kitab Rasmul
Mufti (I/4) dari
kumpulan-kumpulan tulisan Ibnu Abidin. Juga oleh Syaikh Shalih
Al-Filani dalam Kitab Iqazhu
Al-Humam hal. 62 dan
lain-lain, Ibnu Abidin menukil dari Syarah Al-Hidayah,
karya Ibnu Syhahnah Al-Kabir, seorang guru Ibnul Humam, yang
berbunyi.
"Bila
suatu Hadits shahih sedangkan isinya bertentangan dengan madzhab
kita, yang diamalkan adalah Hadits". Hal ini merupakan madzhab
beliau dan tidak boleh seorang muqallid menyalahi Hadits shahih
dengan alasan dia sebagai pengikut Hanafi, sebab secara sah
disebutkan dari Imam Abu Hanifah bahwa beliau berpesan : "Jika
suatu Hadits itu shahih, itulah madzhabku".
Begitu juga Imam Ibnu Abdul Barr meriwayatkan dari Abu Hanifah dan
para imam lain pesan semacam itu.
Komentar
saya : Hal ini
menunjukkan kesempurnaan ilmu dan ketaqwaan mereka. Mereka
mengisyaratkan bahwa mereka tidaklah menguasai semua Hadits. Hal ini
dengan tegas dinyatakan oleh Imam Syafi'i seperti akan tersebut di
belakang nanti. terkadang di antara para imam itu pendapatnya
menyalahi Hadits karena hal itu belum sampai kepada mereka. Oleh
karena itu, mereka menyuruh kita untuk berpegang pada Hadits dan
menjadikannya sebagai madzhab mereka.
[3]
Ibnu 'Abdul Barr dalam kitab Al-Intiqa
fi Fadhail Ats-Tsalasah Al-Aimmah Al-Fuqaha
hal. 145, Ibnul Qayyim, I'lamul
Muwaqqi'in (II/309), Ibnu
'Abidin dalam Hasyiyah
Al-Bahri Ar-Raiq (VI/293),
dan Rasmu Al-Mufti hal.
29 dan 32, Sya'rani dalam Al-Mizan
(I/55) dengan riwayat
kedua, sedang riwayat ketiga diriwayatkan Abbas Ad-Darawi dalam
At-Tarikh,
karya Ibnu Ma'in (VI/77/1) dengan sanad shahih dari Zufar. Semakna
dengan itu diriwayatkan dari beberapa orang sahabatnya, yaitu Zufar,
Abu Yusuf, dan Afiyah bin Yazid, seperti termaktub dalam Al-Iqazh
hl. 52. Ibnu Qayyim
menegaskan shahihnya riwayat ini dari Abu Yusuf (II/344) dan memberi
keterangan tambahan dalam Ta'liqnya terhadap kitab Al-Iqazh hal. 65,
dikutip dari Ibnu 'Abdul Barr, Ibnul Qayyim dan lain-lain.
Komentar
saya : Jika ucapan
semacam ini yang mereka katakan terhadap orang-orang yang tidak
mengetahui dalil mereka, bagaimana lagi ucapan mereka terhadap
orang-orang yang tahu bahwa dalil (Hadits) berlawanan dengan pendapat
mereka, lalu mereka mengeluarkan fatwa yang berlawanan dengan
Hadits.?. Harap Anda perhatikan pernyataan ini, sebab pernyataan
tersebut sudahlah cukup untuk menghentikan sikap taqlid buta. Oleh
karena itulah, sebagian ulama yang bertaqlid menolak untuk
menisbatkan pesan tersebut kepada Abu Hanifah, sebab Abu Hanifah
melarang seseorang mengikuti omongannya bila dia tahu dalilnya.
[4]
Komentar saya :
Karena imam ini sering kali mendasarkan pedapatnya pada qiyas, karena
ia melihat qiyas itu lebih kuat ; atau telah sampai kepadanya Hadits
Nabi, lalu ia ambil Hadits ini, lalu dia meninggalkan pendapatnya
yang terdahulu. Sya'rani, dalam kitab Al-Mizan
(I/62), berkata yang
ringkasnya.
"Keyakinan
kami dan keyakinan semua orang yang arif tentang Imam Abu Hanifah
ialah jika beliau masih hidup sampai masa pembukuan Hadits dan
sesudah ahli Hadits menjelajah semua negeri dan pokok wilayah Islam
untuk mencarinya, niscaya beliau akan berpegang pada Hadits-Hadits
dan meninggalkan setiap qiyas yang dahulu digunakannya, sehingga
qiyas hanya sedikit dipakai pada madzhab beliau sebagaimana pada
madzhab-madzhab lainnya. Akan tetapi, karena pada masanya dalil-dalil
Hadits ada pada para pengikutnya yang terpencar-pencar di berbagai
kota, kampung, dan pojok-pojok negeri Islam, penggunaan qiyas pada
madzhab Hanafi lebih banyak dibanding dengan madzhab lainnya, karena
keadaan terpaksa, sebab tidak ada nash tentang masalah-masalah yang
beliau tetapkan berdasarkan qiyas. Hal ini berlainan dengan
madzhab-madzhab lain. Para ahli hadits pada saat itu telah menjelajah
berbagai penjuru wilayah Islam untuk mencari Hadits dan
mengumpulkannya dari berbagai kota dan kampung sehingga Hadits-hadits
tentang hukum bisa terkumpul semuanya. Inilah yang menjadi sebab
banyaknya pemakaian qiyas dalam madzhab beliau, sedangkan pada
madzhab-madzhab yang lain sedikit.
Sebagian
besar dari pendpat-pendapat Hanafi ini dinukil oleh Abu Al-Hasanat
dalam kitab An-Nafi'
Al-Kabir hal. 135 dan
beliau memberi komentar dengan keterangan yang dapat mejelaskan dan
menguatkan pendapatnya. Silakan baca kitab tersebut.
Komentar
saya : Menjadi suatu
udzur dari Abu Hanifah bila pendapatnya ternyata bertentangan dengan
Hadits-hadits shahih dan udzur dia ini pasti termaafkan. Allah tidak
memaksa seseorang di luar kemampuannya. Jadi, beliau tidak boleh
dicerca dalam hal ini sebagaimana yang dilakukan oleh sebagian orang
yang bodoh. Orang justru wajib hormat kepada beliau, sebab dia adalah
salah seorang di antara imam kaum muslimin yang telah memelihara
agama ini dan menyampaikan kepada kita berbagai bagian dari agama.
Beliau mendapat pahala atas segala usahanya, yang benar atau yang
keliru. Di samping itu, tidak seseorang yang menghormati beliau boleh
terus meneru berpegang pada pendapat-pendapat beliau yang
bertentangan dengan Hadits-hadits shahih, sebab cara semacam itu
bukanlah madzhabnya, sebagaimana telah Anda lihat sendiri
pernyataan-pernyataanya dalam hal ini. Mereka para imam yang saling
berbeda pendapat itu, ibarat lembah-lembah dan kebenaran bisa ada
pada lembah yang satu atau mungkin pada lembah lainnya. Oleh karena
itu, wahai Tuhan kami ampunilah kami dan saudara-saudara kami yang
telah mendahului kami dengan keimanan ; janganlah Engkau jadikan hati
kami dengki kepada orang-orang yang beriman. Wahai Tuhan kami,
sesungguhnya Engkau Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.
[5]
Al-Filani dalam kitab Al-Iqazh hal. 50, menisbatkannya kepada
Imam Muhammad juga, kemudian ujarnya.
"Hal
semacam ini dan lain-lainnya yang serupa bukanlah menjadi sifat
mujtahid, sebab dia tidak mendasarkan hal itu pada pendapat mereka,
bahkan hal semacam ini merupakan sifat muqallid".
Komentar
saya : Berdasarkan hal
diatas, Sya'rani dalam Kitab Al-Mizan (I/26) berkata : "Jika
saya berkata, apa yang harus saya lakukan terhadap Hadits-hadits
shahih setelah kematian imamku, dimana beliau dahulu tidak mengambil
Hadits tersebut".
Jawabnya
: Anda seharusnya
mengamalkan Hadits tersebut, sebab sekiranya imam Anda mengetahui
Hadits-hadits itu dan menurutnya shahih, barangkali beliau akan
menyuruh Anda juga berbuat begitu sebab para imam itu semuanya
terikat pada Syari'at. Barangsiapa yang mengikuti hal itu, kedua
tangannya akan meraih kebajikan. Akan tetapi, barangsiapa yang
mengatakan :"Saya tidak mau mengamalkan suatu Hadits kecuali
kalau hal itu diamalkan oleh imam saya", akan kehilangan
kesempatan untuk mendapatkan kebaikan, seperti yang banyak dilakukan
oleh orang-orang yang taqlid kepada imam madzhab. Yang lebih utama
untuk mereka adalah mengamalkan setiap Hadits yang shahih yang ada
sepeninggal imam mereka, demi melaksanakan pesan para imam tersebut.
Menurut keyakinan kami, sekiranya mereka itu masih hidup dan
mendapatkan Hadits-hadits yang shahih sepeninggal mereka ini, niscaya
mereka akan mengambilnya dan melaksanakan isinya serta meninggalkan
semua qiyas yang dahulu pernah mereka lakukan atau setiap pendapat
yang dahulu pernah mereka kemukakan.
2.
Malik bin Anas
Imam
Malik bin Anas menyatakan :
- [A] "Saya hanyalah seorang manusia, terkadang salah, terkadang benar. Oleh karena itu, telitilah pendapatku. Bila sesuai dengan Al-Qur'an dan Sunnah, ambillah ; dan bila tidak sesuai dengan Al-Qur'an dan Sunnah, tinggalkanlah". [1]
- [B] "Siapa pun perkataannya bisa ditolak dan bisa diterima, kecuali hanya Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam sendiri". [2]
- [C] Ibnu Wahhan berkata : "Saya pernah mendengar Malik menjawab pertanyaan orang tentang menyela-nyela jari-jari kaki dalam wudhu, jawabnya : 'Hal itu bukan urusan manusia'. Ibnu Wahhab berkata : 'Lalu saya tinggalkan beliau sampai orang-orang yang mengelilinginya tinggal sedikit, kemdian saya berkata kepadanya : 'Kita mempunyai Hadits mengenai hal tersebut'. Dia bertanya : 'Bagaimana Hadits itu ?. Saya menjawab : 'Laits bin Sa'ad, Ibnu Lahi'ah, Amr bin Harits, meriwayatkan kepada kami dari Yazid bin 'Amr Al-Mu'afiri, dari Abi 'Abdurrahman Al-Habali, dari Mustaurid bij Syaddad Al-Qurasyiyyi, ujarnya : 'Saya melihat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menggosokkan jari manisnya pada celah-celah jari-jari kakinya'. Malik menyahut :' Hadits ini hasan, saya tidak mendengar ini sama sekali, kecuali kali ini. 'Kemudian di lain waktu saya mendengar dia ditanya orang tentang hal yang sama, lalu beliau menyuruh orang itu untuk menyela-nyela jari-jari kakinya". [3]
________________
[1]
Ibnu 'Abdul Barr dan dari dia juga Ibnu Hazm dalam kitabnya Ushul
Al-Ahkam (VI/149), begitu pula Al-Fulani hal. 72.
[2]
Dikalangan ulama mutaakhir hal ini populer dinisbatkan kepada Imam
Malik dan dinyatakan shahihnya oleh Ibnu Abdul Hadi dalam kitabnya
Irsyad As-Salik (1/227). Diriwayatkan juga oleh Ibnu Abdul Barr dalam
kitab Al-Jami' (II/291), Ibnu Hazm dalam kitab Ushul Al-Ahkam
(VI/145, 179), dari ucapan Hakam bin Utaibah dam Mujahid. Taqiyuddin
Subuki menyebutkannya dalam kitab Al-Fatawa (I/148) dari ucapan Ibnu
Abbas. Karena ia merasa takjub atas kebaikan pernyataan itu, ia
berkata : "Ucapan ini diambil oleh Mujahid dari Ibnu Abbas,
kemudian Malik mengambil ucapan kedua orang itu, lalu orang-orang
mengenalnya sebagai ucapan beliau sendiri".
Komentar
saya : Kemudian Imam
Ahmad pun mengambil ucapan tersebut. Abu Dawud dalam kitab Masaail
Imam Ahmad hal. 276 mengatakan : "Saya mendengar Ahmad berkata :
Setiap orang pendapatnya ada yang diterima dan ditolak, kecuali Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallam.
[3]
Muqaddimah kitab Al-Jarh Wa At-Ta'dil, karya Ibnu Abi Hatim, hal.
31-32 dan diriwayatkan secara lengkap oleh Baihaqi dalam Sunnan-nya
(I/81)
3.
Syafi'i
Riwayat-riwayat
yang dinukil orang dari Imam Syafi'i dalam masalah ini lebih banyak
dan lebih bagus [1]
dan pengikutnya lebih
banyak yang melaksanakan pesannya dan lebih beruntung.
Beliau
berpesan antara lain.
- [A] "Setiap orang harus bermadzhab kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, dan mengikutinya. Apa pun pendapat yang aku katakan atau sesuatu yang aku katakan itu berasal dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam tetapi ternyata berlawanan dengan pendapatku, apa yang disabdakan oleh Rasulullah itulah yang menjadi pendapatku" [2]
- [B] "Seluruh kaum muslim telah sepakat bahwa orang yang secara jelas telah mengetahui suatu hadits dari Rasulullah tidak halal meninggalkannya guna mengikuti pendapat seseorang" [3]
- [C] "Bila kalian menemukan dalam kitabku sesuatu yang berlainan dengan Hadits Rasulullah, peganglah Hadits Rasulullah itu dan tinggalkan pendapatku itu" [4]
- [D] "Bila suatu Hadits shahih, itulah madzhabku" [5]
- [E] "Kalian [6] lebih tahu tentang Hadits dan para rawinya daripada aku. Apabila suatu Hadits itu shahih, beritahukanlah kepadaku biar di mana pun orangnya, apakah di Kuffah, Bashrah, atau Syam, sampai aku pergi menemuinya"
- [F] "Bila suatu masalah ada Haditsnya yang sah dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menurut kalangan ahli Hadits, tetapi pendapatku menyalahinya, pasti aku akan mencabutnya, baik selama aku hidup maupun setelah aku mati" [7]
- [G] "Bila kalian mengetahui aku mengatakan suatu pendapat yang ternyata menyalahi Hadits Nabi yang shahih, ketahuilah bahwa hal itu berarti pendapatku tidak berguna" [8]
- [H] "Setiap perkataanku bila berlainan dengan riwayat yang shahih dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, Hadits Nabi lebih utama dan kalian jangang bertaqlid kepadaku" [9]
- [ I ] "Setiap Hadits yang datang dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, berarti itulah pendapatku, sekalipun kalian tidak mendengarnya sendiri dari aku" [10]
________________
[1]
Ibnu Hazm berkata dalam kita VI/118
"Para ahli fiqh yang ditaqlidi
telah menganggap batal taqlid itu sendiri. Mereka melarang para
pengikutnya untuk taqlid kepada mereka. Orang yang paling keras dalam
melarang taqlid ini adalah Imam Syafi'i. Beliau dengan keras
menegaskan agar mengikuti Hadits-hadits yang shahih dan berpegang
pada ketetapan-ketetapan yang digariskan dalam hujjah selama tidak
ada orang lain yang menyampaikan hujjah yang lebih kuat serta beliau
sepenuhnya berlepas diri dari orang-orang yang taqlid kepadanya dan
dengan terang-terangan mengumumkan hal ini. Semoga Allah memberi
manfaat kepada beliau dan memperbanyak pahalanya. Sungguh pernyataan
beliau menjadi sebab mendapatlan kebaikan yang banyak".
[2]
Hadits Riwayat Hakim dengan sanad bersambung kepada Imam Syafi'i
seperti tersebut dalam kitab Tarikh
Damsyiq, karya
Ibnu 'Asakir XV/1/3, I'lam
Al-Muwaqqi'in (II/363-364),
Al-Iqazh hal.100
[3]
Ibnul Qayyim (II/361), dan Al-Filani hal. 68
[4]
Harawi dalam kitab Dzamm
Al-Kalam (III/47/1),
Al-Khathib dalam Ihtijaj
Bi Asy-Syafi'i (VIII/2),
Ibnu Asakir (XV/9/1), Nawawi dalam Al-Majmu'
(I/63),
Ibnul Qayyim (II/361), Al-Filani hal. 100 dan riwayat lain oleh Abu
Nu'aim dalam Al-Hilyah
(IX/107)
dan Ibnu Hibban dalam Shahih-nya
(III/284, Al-Ihsan)
dengan sanad yang shahih dari beliau, riwayat semakna.
[5]
Nawawi, dalam Al-Majmu', Sya'rani (I/57) dan ia nisbatkan kepada
Hakim dan Baihaqi, Filani hal. 107. Sya'rani berkata : " Ibnu
Hazm menyatakan Hadist ini shahih menurut penilaiannya dan penilaian
imam-imam yang lain".
Komentar
saya : Pernyataan
beliau yang akan diuraikan setelah komentar dibawah ini menunjukkan
pengertian yang dimaksud secara jelas. Nawawi berkata ringkasnya :
"Para
sahabat kami mengamalkan Hadits ini dalam masalah tatswib
(mengulang kalimat adzan),
syarat orang ihram melakukan tahallul karena sakit, dan lain-lain hal
yang sudah populer dalam kitab-kitab madzhab kami. Ada di antara
sahabat-sahabat kami yang memberikan fatwa berdasarkan Hadits antara
lain : "Abu Ya'qub Buwaiti, Abu Al-Qasim Ad-Dariqi, dan
sahabat-sahabat kami dari kalangan ahli Hadits yang juga berbuat
demikian, yaitu Imam Abu bakar, Baihaqi, dan lain-lain. Mereka adalah
sejumlah sahabat kami dari kalangan terdahulu. Bila mereka melihat
pada suatu masalah ada Haditsnya, sedangkan Hadits tersebut berlainan
dengan madzhab Syafi'i, mereka mengamalkan Hadits tersebut dan
berfatwa : "Madzhab Syafi'i sejalan dengan Hadits ini".
Syaikh
Abu Amer berkata : "Bila seorang dari golongan Syafi'i menemukan
Hadits bertentangan dengan madzhabnya, hendaklah ia mempertimbangkan
Hadits tersebut. Jika memenuhi syarat untuk berijtihad, secara umum
atau hanya mengenai hal tersebut, dia mempunyai kebebasan untuk
berijtihad, secara umum atau hanya mengenai hal tersebut, dia
mempunyai kebebasan untuk berijtihad, Akan tetapi, jika tidak
memenuhi syarat, tetap berat untuk menyalahi Hadits sesudah melakukan
kajian dan tidak menemukan jawaban yang memuaskan atas perbedaan
tersebut, hendaklah ia mengamalkan Hadits jika ada Imam selain
Syafi'i yang mengamalkan Hadits tersebut. Hal ini menjadi hal yang
dimaafkan bagi yang bersangkutan untuk meninggalkan imam madzhabnya
dalam masalah tersebut dan apa yang menjadi pendapatnya adalah
pilihan yang baik. wallahu
A'lam.
Komentar
Saya : Ada suatu
keadaan lain yang tidak dikemukakan oleh Ibnu Shalah, yaitu bagaimana
kalau ternyata orang itu tidak mendapatkan imam lain sebelumnya yang
mengamalkan Hadits tersebut ? Apa yang harus ia lakukan ? Hal ini
dijawab oleh Taqiyuddin Subuki dalam Risalah-nya
tentang maksud ucapan Imam Syafi'i "Apabila ada Hadits yang
shahih ..." Juz 3 hal, 102 :
"Menurut
pendapatku, yang lebih utama adalah mengikuti Hadits. Hendaklah yang
bersangkutan menganggap seolah-olah dia berada di hadapan Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallam dan ia mendengar beliau bersabda
seperti itu. Apakah ia layak untuk mengesampingkan pengamalan Hadits
semacam itu ? Demi Allah, tidak. Setiap orang mukallaf bertanggung
jawab sesuai dengan tingkat pemahamannya (dalam mengamalkan Hadits)".
Pembahasan
tentang hal ini dapat Anda baca pada kitab I'lam
Al-Muwaqqi'in (II/302 dan
370), Al-Filani dalam kitab Iqazhu
Humami Ulil Abrar...,
sebuah kitab yang tidak ada duanya dalam masalah ini. Para pencari
kebenaran wajib mempelajarinya dengan serius dan penuh perhatian
terhadap kitab ini.
[6]
Ucapan ini ditujukan kepada Imam Ahmad bin Hanbal, diriwayatkan oleh
Ibnu Abi Hatim dalam kitab Adabu
Asy-Syafi'i hal.
94-95, Abu Nu'aim dalam Al-Hilyah
(IX/106),
Al-Kahtib dalam Al-Ihtijaj
(VIII/1),
diriwayatkan pula oleh Ibnu 'Asakir dari beliau (XV/9/1), Ibnu 'Abdil
Barr dalam Intiqa
hal.
75, Ibnu Jauzi dalam Manaqib
Imam Ahmad hal.
499, Al-Harawi (II/47/2) dengan tiga sanad, dari Abdullah bin Ahmad
bin Hanbal, dari bapaknya, bahwa Imam Syafi'i pernah berkata
kepadanya : "..... Hal ini shahih dari beliau. Oleh karena itu,
Ibnu Qayyim menegaskan penisbatannya kepada Imam Ahmad dalam Al-I'lam
(II/325)
dan Filani dalam Al-Iqazh
hal.
152". Selanjutnya, beliau berkata : "Baihaqi berkata :
'Oleh karena itu, Imam Syafi'i banyak mengikuti Hadits. Beliau
mengambil ilmu dari ulama Hizaz, Syam, Yaman, dan Iraq'. Beliau
mengambil semua Hadits kepada madzhab yang tengah digandrungi oleh
penduduk negerinya, sekalipun kebenaran yang dipegangnya menyalahi
orang lain. Padahal ada ulama-ulama sebelumnya yang hanya membatasi
diri pada madzhab yang dikenal di negerinya tanpa mau berijtihad
untuk mengetahui kebenaran pendapat yang bertentangan dengan
dirinya". Semoga Allah mengampuni kami dan mereka".
[7]
Au Nu'aim dalam Al-Hilyah
(IX/107),
Al-Harawi (47/1), Ibnu Qayyim dalam Al-I'lam
(II/363)
dan Al-Filani hal. 104
[8]
Ibnu Abi Hatim dalam Adabu
Asy-Syafi'i hal.
93, Abul Qasim Samarqandi dalam Al-Amali
seperti pada Al-Muntaqa,
karya
Abu Hafs Al-Muaddib (I/234), Abu Nu'aim dalam Al-Hilyah
(IX/106),
dan Ibnu Asakir (15/101) dengan sanad shahih.
[9]
Ibnu Abi Hatim hal 93, Abu Nu'aim dan Ibnu 'Asakir (15/9/2) dengan
sanad shahih.
[10]
Ibnu Abi Hatim, hal. 93-94
4.
Ahmad bin Hanbal
Ahmad
bin Hanbal merupakan seorang imam yang paling banyak menghimpun
Hadits dan berpegang teguh padanya, sehingga beliau benci menjamah
kitab-kitab yang memuat masalah furu' dan ra'yu [1].
Beliau
menyatakan sebagai berikut :
- [A] "Janganlah engkau taqlid kepadaku atau kepada Malik, Sayfi'i, Auza'i dan Tsauri, tetapi ambillah dari sumber mereka mengambil [2]. Pada riwayat lain disebutkan : "Janganlah kamu taqlid kepada siapapun mereka dalam urusan agamamu. Apa yang datang dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dan para sahabatnya, itulah hendaknya yang kamu ambil. Adapun tentang tabi'in, setiap orang boleh memilihnya (menolak atau menerima)" Kali lain dia berkata : "Yang dinamakan ittiba' yaitu mengikuti apa yang datang dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dan para sahabatnya, sedangkan yang datang dari para tabi'in boleh dipilih". [3]
- [B] " Pendapat Auza'i, Malik dan Abu Hanifah adalah ra'yu (pikiran). Bagi saya semua ra'yu sama saja, tetapi yang menjadi hujjah agama adalah yang ada pada atsar (Hadits)" [4]
- [C] "Barangsiapa yang menolak Hadits Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, dia berada di jurang kehancuran" [5]
Demikianlah
pernyataan para imam dalam menyuruh orang untuk berpegang teguh pada
Hadits dan melarang mengikuti mereka tanpa sikap kritis. Pernyataan
mereka itu sudah jelas tidak bisa dibantah dan diputarbalikkan lagi.
Mereka mewajibkan berpegang pada semua hadits yang shahih sekalipun
bertentangan dengan sebagian pendapat mereka tersebut dan sikap
semacam itu tidak dikatakan menyalahi madzhab mereka dan keluar dari
metode mereka, bahkan sikap itulah yang disebut mengikuti mereka dan
berpegang pada tali yang kuat yang tidak akan putus. Akan tetapi,
tidaklah demikian halnya bila seseorang meninggalkan Hadits-hadits
yang shahih karena dipandang menyalahi pendapat mereka. Bahkan orang
yang berbuat demikian telah durhaka kepada mereka dan menyalahi
pendapat-pendapat mereka yang telah dikemukakan di atas. Allah
berfirman.
"Artinya : Demi Tuhanmu,
mereka itu tidak dikatakan beriman sehingga mereka menjadikan kamu
sebagai hakim dalam menyelesaikan sengketa diantara mereka, kemudian
mereka tidak berkeberatan terhadap keputusanmu dan menerimanya dengan
sepenuh ketulusan hati". [An-Nisa'
: 65]
Allah
juga berfirman.
"Artinya : Orang-orang yang
menyalahi perintahnya hendaklah takut fitnah akan menerima mereka
atau azab yang pedih akan menimpa mereka". [An-Nur
: 63]
Imam
Hafizh Ibnu Rajab berkata :
"Kewajiban
orang yang telah menerima dan mengetahui perintah Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah menyampaikan kepada ummat,
menasihati mereka, dan menyuruh mereka untuk mengikutinya sekalipun
bertentangan dengan pendapat mayoritas ummat. Perintah Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam lebih berhak untuk dimuliakan dan
diikuti dibandingkan dengan pendapat tokoh mana pun yang menyalahi
perintahnya, yang terkadang pendapat mereka itu salah. Oleh karena
itulah, para sahabat dan para tabi'in selalu menolak pendapat yang
menyalahi Hadits yang shahih dengan penolakan yang keras [6]
yang mereka lakukan bukan karena benci, tetapi karena rasa hormat.
Akan tetapi, rasa hormat mereka kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi
wa sallam jauh lebih tinggi daripada yang lain dan kedudukan Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallam jauh diatas mahluk lainnya. Bila
perintah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam ternyata berlawanan
dengan perintah yang lain, perintah beliau lebih utama didahulukan
dan diikuti, tanpa sikap merendahkan orang yang berbeda dengan
perintah beliau, sekalipun orang itu mendapatkan ampunan dari Allah.
[7]
Bahkan
orang yang mendapat ampunan dari Allah, yang pendapatnya menyalahi
perintah Rasuluallah Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak merasa benci
bila seseorang meninggalkan pendapatnya, ketika ia mendapati bahwa
ketentuan Rasulullah berlawanan dengan pendapatnya. [8]
Komentar
saya : Bagaimana
mereka (para imam) membenci sikap semacam itu, padahal mereka sendiri
menyuruh para pengikutnya untuk berbuat begitu, seperti yang telah
disebut keterangannya di atas. Mereka mewajibkan para
pengikutnya untuk meninggalkan pendapat-pendapat mereka, bila
bertentangan dengan Hadits Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. Bahkan
Imam Syafi'i menyuruh para muridnya untuk mengatasnamakan dirinya
terhadap setiap Hadits yang shahih, sekalipun beliau tidak
meriwayatkannya, atau bahkan pendapatnya bertentangan dengan Hadits
itu. Oleh karena itu, Ibnu Daqiq Al-'Id mengumpulkan berbagai Hadits
yang dikategorikan bertentangan dengan pendapat dari salah satu atau
seluruh imam yang empat, dalam sebuah buku besar. Beliau mengatakan
pada pendahulunya :
"Mengatasnamakan
para imam mujtahid tentang berbagai masalah yang bertentangan dengan
Hadits shahih adalah haram". Para ahli fiqih yang taqlid kepada
mereka wajib mengetahui bahwa tidak boleh mengatasnamakan masalah itu
kepada mereka. sehingga berdusta atas nama mereka. [9]
__________________
[1]
Ibnu Jauzi dalam Al-Manaqib
hal.
192
[2]
Al-Filani hal. 113 dan Ibnul Qayyim dalam Al-I'lam
(II/302)
[3]
Abu Dawud dalam Masa'il
Imam Ahmad hal.
276-277
[4]
Ibnu Badul Barr dalam Al-Jami'
(II/149)
[5]
Ibnul Jauzi hal. 142
[6]
Komentar
saya :
"Bahkan bapak-bapak dan ulama-ulama mereka juga begitu,
sebagaimana diriwayatkan oleh Thahawi dala Syarah
Ma'anil Atsar (I/372).
Abu Ya'la dalam Musnad-nya
(III/1317) dengan sanad jayyid dan rawi-rawinya orang kepercayaan,
dari Salim bin Abdullah bin Umar, ujarnya :
"Saya
pernah duduk bersama Ibnu 'Umar di dalam masjid. Tiba-tiba salah
seorang laki-laki dari penduduk Syam datang kepadanya, lalu
menanyakan masalah umrah dalam haji tamattu". Ibnu Umar menjawab
:"Baik". Orang itu bertanya lagi : "Benarkan bapakmu
dahulu melarang melakukan hal ini?" Jawabnya "Celakalah
engkau. Sekiranya bapakku dulu pernah melarang, Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah melakukannya dan menyuruh
berbuat seperti itu. Apakah engkau akan mengambil ucapan bapakku
ataukah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam ?" Orang itu
berkata : "Mengambil perintah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
sallam". Ibnu Umar berkata : "Pergilah dari aku"
(Hadits Riwayat Ahmad, Hadits No. 5700). Semakna dengan riwayat ini
disebutkan oleh Tirmidzi pada Syarah
Tahfah (II/82) dan
disahkan olehnya. Diriwayatkan pula oleh Ibnu 'Asakir
(VII/51/1) dari Ibnu Abu Dzi'ib. Ia berkata : "Sa'ad bin Ibrahim
bin Abdurrahman bin 'Auf pernah menjatuhkan hukuman kepada seseorang
berdasarkan pendapat Rabi'ah bin Abi Abdurrahman, lalu saya sampaikan
kepadanya riwayat dari Rasulullah yang berlainan dengan hukum yang
telah ditetapkannya. Sa'ad berkata kepada Rabi'ah : 'Orang ini adalah
Ibnu Abi Dzi'ib, seorang yang saya pandang dapat dipercaya. Dia
meriwayatkan dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam riwayat yang
berlainan dengan ketetapan yang aku putuskan. 'Rabi'ah berkata
kepadanya : 'Anda telah berijtihad dan keputusan Anda ada lebih
dulu'. Sa'ad berkata :'Duhai, apakah ketetapan Saad terus berlaku dan
ketetapan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak diberlakukan
? Mestinya aku menolak ketetapan Sa'ad bin Ummi Sa'ad dan aku
jalankan ketetapan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam'. Lalu
Sa'ad meminta surat keputusannya, kemudian merobeknya dan membuat
ketetapan baru ini kepada orang yang dikenai putusan".
[7]
Komentar
saya
: "Bahkan orang seperti itu mendapat pahala sebagaimana sabda
Rasulullah Shallalalhu 'alaihi wa sallam : "Apabila seorang
hakim berijtihad dalam menetapkan suatu hukum dan ijtihadnya benar,
ia mendapat dua pahala ; jika ia berijtihad dalam menetapkan hukum
dan ijtihadnya salah, ia mendapat satu pahala". (Hadits Riwayat
Bukhari dan Muslim dan lain-lain).
[8]
Beliau nukil dalam Kitab Ta'liq
'ala Iqazhul Humam hal.
93
[9]
Al-Filani hal. 99
0 comments:
Post a Comment