Salim Al-Hilali dan Ziyad Ad-Dabij
Halaman
satu dari tiga tulisan
KATA
PENGANTAR
Sebagai
kelanjutan dari pembahasan yang lalu [Masalah-22], maka kami angkat
pula penjelasan yang lebih rinci dan ilmiah mengenai Tarekat Sufi
oleh Salim al-Hilali dan Ziyad ad-Dabij, yang disadur dari kitab
karya mereka yaitu; Al-Islam fi-Dha'u Al-Kitab wa As-Sunnah,
cet.II, hal. 81-97. Dan dimuat di majalah As-Sunnah edisi
17/II/1416H-1996M, dengan membawakan judul Borok-Borok Sufi, selamat
menyimak.
BOROK-BOROK
SUFI
Tasawuf
merupakan gerakan berpola pikir filsafat klasik yang mengekor kepada
para filosof dan ahli syair Romawi, India dan Persia. Namun, dalam
hal ini, kita akan membatasi kajian masalah sufi dengan berkedok
Islam. Kedok Islam ini dikenakan sebagai upaya menutupi hakikatnya.
Maka barangsiapa yang meneliti dan mengamati gerak-geriknya, niscaya
akan berkesimpulan, bahwa sufi bukan Islam. Baik menyangkut aqidah,
perilaku dan pendidikan.
MENGENAL
BEBERAPA KEYAKINAN SUFI
Sesungguhnya
para penguasa sufi telah berusaha memelihara keyakinan-keyakinan
tasawuf, yakni dengan merancukan dan menghapuskan ayat-ayat Al-Kitab
Al-Karim. Membolak-balik, serta merubah pemahaman Sunnah An-Nabawiyah
yang telah suci. Akan tetapi Allah Subhanahu wa Ta'ala telah
menakdirkan untuk agama ini, orang-orang yang memperbaharui
agama-Nya.
Yakni,
dengan membersihkan Islam dari bermacam aqidah dan filsafat yang
mengalir dalam benak manusia akibat pengaruh pola pikir keberhalaan.
Maka, diungkaplah borok-borok mereka, dipilah perkataan mereka serta
diterangkan kebohongannya. Metoda mereka pun dibuyarkan dengan
menelaah kitab-kitab induk sufi. Berikut secara ringkas ditampilkan
keyakinan-keyakinan mereka.
Ilmu
Laduni
Istilah ini dikaitkan kepada firman-Nya Subhanahu wa
Ta'ala tentang nabi Khidir:
"Wa
'allamnaahu min Ladunnii 'ilmaan"
"...Dan
Kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami.". (Al-Kahfi : 65).
Yang
dimaksud dengan ayat di atas, menurut mereka, adalah disingkapnya
alam gaib bagi mereka. Caranya, dengan kasyaf (penyingkapan),
tajliyat (penampakan) serta melakukan kontak langsung dengan
Allah dan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam. 1)
Mereka berdalil dengan firman-Nya Subhanahu wa Ta'ala.
"Artinya
: Dan bertaqwalah kepada Allah, maka Allah akan mengganjari kepada
kalian semua".
(Al-Baqarah : 282).
Pemikiran
ilmu laduni dipelopori oleh Hisyam Ibnu Al-Hakam (wafat 199H),
seorang penganut Syi'ah yang mahir ilmu kalam. Ia berasal dari Kufah.
2)
Orang-orang
sufi, dalam rangka merealisir ajarannya, menempuh beberapa jalan.
Jalan terpenting itu, diantaranya :
- Menjauhkan diri dari menuntut ilmu syar'i. Dikatakan oleh Al-Junaid, seorang pentolan sufi, "Yang paling aku sukai pada seorang pemula, bila tak ingin berubah keadaannya, hendaknya jangan menyibukkan hatinya dengan tiga perkara berikut : mencari penghidupan, menimba ilmu (hadits) dan menikah. Dan yang lebih aku sukai lagi, pada penganut sufi, tidak membaca dan menulis. Karena hal itu hanya akan menyita perhatiannya". 3)Demikian pula yang dikatakan Abu Sulaiman Ad-Darani, "Jika seseorang menimba ilmu (hadits), bepergian untuk mencari penghidupan, atau menikah, sungguh ia telah condong kepada dunia". 4)
- Menghancurkan sanad-sanad hadits dan menshahihkan hadits-hadits dha'if (lemah), munkar dan maudhu' (palsu) dengan cara kasyaf. Sebagaimana dikatakan Abu Yazid Al-Busthami, "Kalian mengambil ilmu dari mayat ke mayat. Sedang kami mengambil ilmu dari yang Maha Hidup dan tidak pernah mati. Hal itu seperti yang telah disampaikan para pemimpin kami : "Telah mengabarkan pada aku hatiku dari Rabbku". Sedang kalian (maksudnya, kalangan Ahlu Al-hadits) mengatakan : "Telah mengabarkan kepada kami Fulan". Padahal, bila ditanya dimana dia (si Fulan tersebut) ?. Tentu akan dijawab : "Ia (Fulan, yakni yang meriwayatkan ilmu atau hadits tersebut) telah meninggal". "(Kemudian) dari Fulan (lagi)". Padahal, bila ditanyakan dimana dia (Fulan tadi)? Tentu akan dijawab : "Ia telah meninggal". 5) Dikatakan pula oleh Ibnu Arabi, "Ulama Tulisan mengambil peninggalan dari salaf (orang-orang terdahulu) hingga hari kiamat. Itulah yang menjauhkan atau menjadikan timbulnya jarak antara nasab mereka. Sedang para wali mengambil ilmu dari Allah (secara langsung -peny). Yakni, dengan cara Ia (Allah) mengilhamkan ke dalam hati para wali". 6) Dikatakan oleh Asy-Sya'rani, "Berkenan dengan hadits-hadits. Walaupun cacat menurut para ulama ilmu hadits, tapi tetap shahih menurut ulama ilmu kasyaf". 7)
- Menganggap menimba ilmu (hadits) sebagai perbuatan aib dan merupakan jalan menuju kemaksiatan serta kesalahan. Ibnu Al-Jauzi menukil, bahwa ada seorang syaikh sufi melihat seorang murid membawa papan tulis (baca : buku), maka dikatakannya kepada murid tersebut : "Sembunyikan auratmu". 8) Bahkan, mereka saling mewariskan sebagian pameo-pameo yang bertendensi menjauhkan peninggalan salaf, umpamanya : Barang siapa gurunya kitab, maka salahnya lebih banyak dari benarnya.
Sanggahan
terhadap pernyataan-pernyataan sebagaimana diungkap di atas :
Pertama
Barangsiapa
berkeyakinan, bahwa dengan kemampuannya dapat berjumpa dengan
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, seperti keadaan nabi
Khidir dengan nabi Musa, maka ia telah kafir berdasarkan ijma'
para ulama kaum muslimin. Karena, nabi Musa tidaklah diutus kepada
nabi Khidir, dan tidak pula nabi Khidir diperintahkan untuk mengikuti
nabi Musa.
Padahal
Allah telah menjadikan masing-masing nabi mempunyai jalan dan minhaj
yang berbeda-beda. Dan peristiwa yang demikian itu, berulang kali
terjadi sebelum beliau diutus sebagai nabi. Seperti, sezamannya nabi
Luth dengan nabi Ibrahim, nabi Yahya dengan nabi Isa.
Sesungguhnya
para nabi tersebut dibangkitkan untuk kaumnya saja, sedangkan
Muhammad shalallallahu 'alaihi wa sallam dibangkitkan untuk seluruh
manusia hingga hari kiamat. Telah bersabda Shallallahu 'alaihi wa
sallam.
"Artinya
: Adalah para nabi diutus untuk kaumnya saja, sedangkan aku diutus
untuk seluruh manusia". (Hadits Shahih Riwayat Bukhari dan
Muslim).
"Artinya
: Tidak seorang pun dari umat ini yang mendengar tentangku, baik
Yahudi atau Nashrani, kemudian tidak beriman kepadaku, melainkan akan
dimasukkan ke neraka" (Hadits Shahih Riwayat Muslim I/93).
Aqidah
semacam ini merupakan asasnya Islam, berdasarkan firman-Nya Subhanahu
wa Ta'ala.
"Artinya
: Tidaklah engkau Kami utus kecuali untuk seluruh manusia, sebagai
pemberi khabar gembira dan pemberi peringatan". (Saba' : 28).
Dan
firman-Nya Subhanahu wa Ta'ala.
"Artinya
: Katakanlah, wahai manusia, sesungguhnya aku adalah utusan Allah
kepada kalian semua". (Al-A'raf : 157).
Dan
siapa saja yang 'alim, baik jin maupun manusia, diperintahkan
untuk mengikuti rasul yang ummi ini. Maka barangsiapa yang
mengaku bahwa dengan kemampuannya dapat keluar dari minhaj dan
petunjuk nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam ke minhaj
lainnya, walaupun minhaj Isa, Musa, Ibrahim, maka dia sesat dan
menyesatkan. Telah bersabda Shalallahu 'alaihi wa sallam.
"Artinya
: Seandainya Musa turun, lalu kalian semua mengikutinya dan
meninggalkan aku, maka sungguh sesatlah kalian. Aku adalah bagian
kalian, dan kalian adalah bagian dari umat-umat yang ada".
(Riwayat Baihaqi dalam Syu'abu al-Iman, dan lihat pula dalam
Irwa'al-Ghalil karangan Al-Bani hal. 1588).
Adapun
keyakinan orang-orang sufi bahwa nabi Khidir masih tetap hidup,
selalu berhubungan dengan mereka, mengajarkan kepada mereka ilmu yang
diajarkan Allah kepadanya, seperti nama-nama Allah yang Agung, hal
ini merupakan dusta dan mengada-ada. Karena menyelesihi Al-Qur'an
secara nyata :
"Artinya
: Dan tidaklah kami jadikan seorang manusia pun sebelummu abadi".
(Al-Anbiya' : 34).
"Artinya
: Tidak ada satu jiwa pun yang bernafas pada hari ini yang datang
dari zaman seratus tahun sebelumnya, sedangkan dia saat sekarang ini
masih hidup". (Hadits Riwayat Ahmad dan Tirmidzi dari Jabir).
Hadits-hadits
yang menerangkan masih hidupnya nabi Khidir semuanya maudhu'
(palsu) menurut kesepakatan seluruh ulama hadits. 9)
Kedua
Adapun
hujjah mereka dengan firman-Nya Subhanahu wa Ta'ala.
"Artinya
: Dan bertaqwalah kepada Allah dan Allah akan mengajarimu (ilmu)".
(Al-Baqarah : 282).
Hal
itu bukanlah hujjah, karena Rasulullah shallallahu 'alaihi wa
sallam telah menerangkan pemahaman ayat ini dan telah menentukan
cara mencari ilmu yang disyari'atkan dan diwajibkan atas setiap
muslim. Seperti sabdanya Shallallahu 'alaihi wa sallam.
"Artinya
: Sesungguhnya ilmu itu (diperoleh) dengan cara belajar".
(Hadits Riwayat Daruquthni dalam Al-Ifrad wa al-Khatib dalam
tarikhnya dari Abu Hurairah dan Abu Darda'. Lihat Silsilah
Ash-Shahihah 342).
Kata
innama (sesungguhnya) disini adalah untuk membatasi.
Ketiga
Perihal
pendapat mereka yang menyatakan, bahwa mencari ilmu dengan cara
belajar adalah jalan yang memayahkan, terlalu bertele-tele, dianggap
condong kepada dunia serta menyita perhatian dan kesungguhan
(walaupun telah tinggi dalam menuntut ilmu tadi), tetap dianggap
tidak sempurna. Kecuali, bila ditempuh dengan cara kasyaf dan
ilham.
Berkenan
dengan ilmu itu sendiri, termasuk tentunya dalam pengamalannya.
Bahkan sebatas mencari ilmu semata. Berkata Ibnu Al-Jauzi, "Iblis
menginginkan untuk menutup jalan tersebut dengan cara yang paling
samar. Memang jelas bahwa yang dimaksud adalah mengamalkannya bukan
sebatas mencari ilmu saja. Namun, dalam hal ini para penipu itu telah
menyembunyikan masalah pengamalannya. 10) Dan tidaklah kasyaf
yang mereka dakwahkan itu, kecuali hanya khayalan setan belaka.
"Artinya
: Maukah Aku khabarkan kepada kalian tentang kepada siapa setan turun
? (Setan) turun kepada setiap pendusta dan suka berbuat dosa. Mereka
menghadapkan pendengarannya itu (kepada setan), dan kebanyakan mereka
adalah orang-orang pendusta". (Asy-Syu'ara : 221-223).
"Artinya
: Tidaklah kamu melihat bahwasanya Kami telah mengirim setan-setan
itu kepada orang-orang kafir untuk menghusung mereka agar berbuat
maksiat dengan sungguh-sungguh ? Maka janganlah kamu tergesa-gesa
memintakan siksaan bagi mereka, karena sesungguhnya Kami hanya
menghitung (hari siksaan) itu untuk mereka dengan perhitungan yang
teliti. Ingat ketika hari Kami mengumpulkan orang-orang yang bertaqwa
kepada Rabb yang Maha Pemurah sebagai perutusan yang terhormat. Dan
kami akan menghalau orang-orang yang durhaka ke neraka Jahannam dalam
keadaan dahaga". (Maryam : 83-86).
Adapun
pengakuan mereka, seperti pensyarah Al-Ushul katakan, bahwa
kasyaf merupakan bagian dari iman yang benar. Dan maksud
kasyaf adalah disingkapkannya sebagian yang tersembunyi, dan
tidak tampak, mengetahui gerak-gerik jiwa dan niat serta kelemahan
sebagian manusia. Kasyaf semacam inilah yang disebutkan dalam
hadits syarif sebagai firasat seorang yang beriman. 11) Jadi
bila ada perkataan mereka semacam ini : "Telah mengabarkan
kepadaku hatiku dari Rabb-ku" tidak lain adalah perkataan
khurafat.
Keempat
Sebagian
mereka mengaku dapat melihat Rasulullah shallallahu 'alaihi wa
sallam dalam tidurnya, lalu mengajarkan kepadanya beberapa
perkara dan memintanya untuk berbuat begini dan begitu. Seperti, kata
Ibnu Arabi, "Sesungguhnya aku telah melihat Rasulullah
shallallahu 'alaihi wa sallam dalam mimpi. Aku melihatnya saat
sepuluh akhir di bulan Muharram 627H, di Mahrusah, Damsyiq. Saat itu
di tangan beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam membawa kitab.
Maka sabdanya kepadaku, 'Kitab ini adalah kitab Fushush Al-Hikam'.
Ajarkan dan sebarkan kepada manusia agar bisa memetik manfa'at
darinya. Kemudian aku katakan, Aku dengar dan taat kepada Allah,
Rasul-Nya serta ulil amri diantara kita sebagaimana yang
engkau perintahkan. Maka, aku pun berusaha merealisasikan cita-cita
dan aku murnikan niatku serta kubulatkan tekad untuk mengajarkan
kitab ini sebagaimana diajarkan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa
sallam, tanpa mengurangi dan menambahinya".
Bantahan
terhadap pendapat di atas adalah sebagai berikut :
- Para Rasul tidak memerintahkan kemaksiatan apalagi kekufuran, seperti yang memenuhi kitab Fushush Al-Hikam. Seperti, mengkafirkan nabi Allah, Nuh (hal. 70-72), meyakini bahwa Fir'aun itu telah beriman (hal. 21), membenarkan pendirian Samiri dan perbuatannya dalam membuat patung (yang menimbulkan fitnah di kalangan bani Israil) hingga mengibadahinya (hal. 188).
- Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam tidak menyuruh menyelisihi syari'at. Sesungguhnya, ada yang mengatakan bahwa setan menampakkan diri dalam bentuk nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam di hadapan Ibnu Arabi. Padahal mustahil hal itu bisa terjadi. Dia (Ibnu Arabi) telah tertipu dan terperdaya. Walau ia mengatakan yang demikian itu dengan niat baik dan prasangka bersih. Tetapi yang demikian itu mustahil, karena setan tidak akan mampu menyerupai nabi. Maka, bagaimana hal itu bisa terjadi padahal Nabi yang ma'shum Shallallahu 'alaihi wa sallam telah bersabda : "Artinya : Barangsiapa yang melihatku (dalam mimpinya) maka sesungguhnya akulah dia. Karena sesungguhnya setan tidak bisa menyerupaiku". (Hadits Shahih Riwayat Tirmidzi dari Abu Hurairah, mempunyai penguat yang sangat banyak, sebagiannya Shahih diriwayatkan Bukhari dan Muslim. Lihat Shahih Al-Jami' dan ziyadahnya V/293).
Berdasarkan
keterangan di atas, maka kita berkeyakinan bahwa Ibnu Arabi dan para
pengikutnya adalah dajjal-dajjal Khurasan. Sedang perkataan-perkataan
mereka dusta dan tidak mengandung kebenaran sama sekali.
Footnote
:
1. Ihya 'Ulummuddin, Al-Ghazali, I/19-20 dan III/26, cet.
Istiqomah, Qahirah.
2. Minhaj As-Sunnah, Syaikh Islam Ibnu
Taimiyah, hal. 226
3. Quwat Al-Qulub, III/35
4. Al-Futuhat
Al-Makkiyah, Ibnu Arabi, I/37.
5. Al-Kawakib Ad-Durriyah, hal. 226
dan Al-Futuhat Al-Makkiyah, I/365.
6. Al-Kawakib Ad-Durriyah, hal.
246 dan Rasail, Ibnu Arabi, hal.4.
7. Al-Mizan, I/28.
8. Tablis
Iblis, hal. 370.
9. Al-Manar Al-Munif, Ibnu Qayim Al-Jauziyah.
10.
Shaid Al-Khaathir, Ibnu Jauzi, I/144-146.
11. Syarah Al-Ushul
Al-Isyrin, hal 27.
Borok-Borok Sufi
Salim
Al-Hilali dan Ziyad Ad-Dabij
Halaman
dua dari tiga tulisan
SYARI'AT
DAN HAKIKAT
Para
pemimpin sufi mengatakan, bahwa setiap ayat mempunyai unsur lahir dan
bathin. Atau, Islam itu terdiri dari syari'at dan hakikat. Syari'at,
bila dibandingkan dengan hakikat, laksana buih. Hakikat merupakan
tingkatan paling sempurna, puncak dan sangat tinggi dalam tangga
peribadahan Islam.
Cara
agar mampu untuk mencapainya adalah dengan memiliki ilmu laduni,
kasyaf Rabbani serta Faidh Ar-Rahmani. Dalihnya, hadits
yang diriwayatkan imam Bukhari dari Abu Hurairah :
"Artinya
: Aku menghafalkan dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam
dua kantung ilmu. Adapun salah satunya telah aku sebarkan. Sedangkan
lainnya, bila ku sebarkan akan dipotong tenggorokan ini".
(Hadits Riwayat Bukhari dalam kitab Fitan).
Padahal
ini sebagai isyarat dari beliau rahimahullah tentang akan tidak
adanya kaitan antara ilmu batin dan ilmu zhahir. Kalau tidak begitu,
pasti beliau akan mencantumkannya dalam Al-'Ilm. Sesungguhnya,
Al-Hafidz Ibnu Hajar telah menerangkan masalah tersebut secara rinci
dalam kitabnya, Fathu Al-Bari I/216.
Oleh
karena itu, barangsiapa menyatakan Islam terdiri dari lahir dan
batin, berarti dia telah menyangka Rasulullah Muhammad shallallahu
'alaihi wa sallam mengkhianati tugas kerasulannya. Tapi, inilah
kenyataannya. Mereka berkeyakinan, Rasulullah hanya menyampaikan yang
zhahir saja. Sedang, yang batin beliau beritahukan kepada orang-orang
tertentu. 13)
Demi
Allah, sesungguhnya Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam
berlepas dari yang mereka kaitkan kepada beliau Shallallahu
'alaihi wa sallam. Dan Allah, malaikat Jibril serta orang-orang
shalih dari kalangan yang beriman menyaksikan yang demikian itu.
Berfirman Allah Subhanahu wa Ta'ala :
"Artinya
: Pada hari ini Aku sempurnakan untukmu agamamu, dan Aku lengkapkan
untukmu semua ni'mat-Ku serta Aku ridhai bagimu Islam sebagai agama".
(Al-Maidah : 3).
Beliau
Shallallahu 'alaihi wa sallam telah meminta persaksian di
hadapan segenap manusia muslim yang berkumpul di bawah Jabal
Ar-Rahmah pada hari haji akbar. Kata beliau,
"Sesungguhnya, kalian akan ditanya tentang aku. Maka, apakah
yang akan kalian katakan ?" Jawab mereka : "Kami bersaksi
bahwa engkau telah menyampaikan risalah Rabb-mu dan telah
menunaikannya. Engkau telah menasehati umatmu dan menunaikan
kewajibanmu".
Lantas
beliau bersabda seraya mengacungkan telunjuknya ke arah langit dan
menggerak-gerakkannya ke hadapan manusia : "Ya Allah,
saksikanlah. Ya Allah, saksikanlah". (Potongan dari hadits Jabir
bin Abdullah tentang hajinya Rasulullah shallallahu 'alaihi wa
sallam. Di-tahqiq ulang Syaikh Muhammad Nashiruddin
Al-Albani dalam Hijjah An-Nabi, hal. 37-41).
Nabi
shallallahu 'alaihi wa sallam pun telah menyatakan secara
terang-terangan, dan hal ini sebagai hujjah nyata guna menampar
setiap pendusta dan yang suka berbuat dosa. Kata beliau :
"Artinya
: Sesungguhnya seorang nabi tidak mengenal main isyarat (dengan
mata)". (Hadits Shahih Riwayat Imam Ahmad, Abu Dawud, dari Anas.
lihat Shahih Al-Jami' II/303).
Maksudnya
memberi isyarat dengan isyarat rahasia. Hal ini agar tidak ada
seorangpun yang berburuk sangka yang menyebabkan tumbuhnya keyakinan,
bahwa dalam agama Allah ada rahasia yang tidak banyak diketahui
manusia.
Yang
semakna dengan hadits ini adalah sabdanya :
"Artinya
: Sesungguhnya tidak selayaknya bagi seorang nabi mempunyai mata yang
khianat". (Hadits Shahih Riwayat Abu Dawud, Nasa'i dan Hakim
dari Sa'id. Lihat Shahih Al-Jami' II/307).
AL-HULUL
WA AL-ITTIHAD
Sebagaimana
kelompok sufi berkhayal, siapa saja yang menempuh jalan ilmu batin,
pada akhirnya akan mencapai tingkatan melebur bersama dzat Allah.
Ketika itulah ia menempati dzat tersebut, hingga bercampur sifat
ketuhanan dengan tabiat kemanusiaan. Bentuk lahirnya manusia, tetapi
hakikat batinnya adalah sifat ketuhanan.
Orang-orang
yang berpikiran demikian, misalnya Al-Hallaj, ibnu Al-Faradh, Ibnu
Sab'in dan lainnya dari kalangan sufi. Berikut ini kami paparkan
sebagian perkataan mereka :
Al-Hallaj berkata : 14)
Maha
Suci yang menampakkan sifat kemanusiaannya,
Kami rahasiakan sifat
ketuhanannya yang cemerlang,
Kemudian Ia menampakkan diri pada
mahluknya,
Dalam bentuk orang yang sedang makan dan minum,
Hingga
mahluknya dapat menentukannya, seperti
jarak antara kedipan mata
dengan kedipan yang lain.
Siapakah dia ? Dialah Rabbu
Al-Arbab
yang tergambar dalam seluruh bentuk pada
hamba-Nya,
Fulan. 15)
Dan
Ibnu Al-Faradh berkata : 16)
Tidaklah
aku shalat kepada selainku,
dan tidaklah shalatku kepada
selainku
ketika menunaikan dalam setiap raka'atku.
Dan
cukuplah bagi orang-orang sufi merasakan kesedihan tatkala Ibnu
Al-Faradh berpayah-payah dibalik fatamorgana. Ibnu Taimiyah
rahimahullah berkata, tatkala menceritakan keadaan Ibnu Al-Faradh :
"Orang yang mengucapkan sya'ir tersebut ketika meninggalnya
mengucapkan syair sebagai berikut :
Jika
kedudukanku dalam cinta disisi-Mu,
tidak seperti yang pernah aku
jumpai,
maka sesungguhnya aku telah membuang-buang
umurku.
Angan-angan yang menancap dalam diriku beberapa lama,
dan
pada hari ini aku mengiranya sebagai mimpi kosongku belaka.
At-Tusturi
berkata : 17)
Akulah
yang dicintai dan yang mencintai,
tidak ada selainnya.
Para
syaikh tasawuf tersebut mencari-cari dalih dengan hadits yang
berbicara masalah wali. Padahal, segala dalih dan alasan itu tak
mendukung mereka. Misalnya sebuah hadits :
"Artinya
: Tidak henti-hentinya seorang hamba mendekatkan diri kepadaku dengan
perbuatan-perbuatan yang disunnahkan hingga Aku mencintainya. Maka
jika Aku mencintainya, Akulah yang menjadi pendengarannya yang dia
gunakan untuk mendengar, dan penglihatannya yang dia gunakan untuk
melihat, dan tangannya yang dia julurkan, dan kakinya yang dia
langkahkan. Maka, jika ia meminta kepada-Ku, sungguh aku akan beri.
Dan jika ia minta perlindungan kepada-Ku, sungguh Aku akan
melindunginya". (Hadits Riwayat Bukhari, akan tetapi kami
ringkas sesuai dengan makna pembahasan).
Hadits
ini menunjukkan dengan sangat adanya pembedaan dan pemisahan. Dalam
hal ini ada 'Abid (yang beribadah) dan Ma'bud (yang
diibadahi), Sa-il (yang meminta) dan Mas-ul (yang
diminta), 'A-idz (yang minta perlindungan) dan Mu'idz
(yang melindungi). Sedang, orang-orang sufi tersebut mengaku bahwa
Allah berdiam dalam dzat hambanya. Yaitu, jika Dia menjadi dia dan
keduanya menjadi dua dzat yang menyatu.
Betapa
anehnya ! Bagaimana akal orang-orang sufi tersebut menerimanya dengan
cara membenarkan kebohongan ini ? Dan bagaimana pula hingga lisan
mereka mengulang-ngulangnya ? Sungguh, Kursi-Nya seluas langit dan
bumi, maka bagaimana mungkin jasad manusia dapat menampung-Nya ?.
Adapun
hadits berikut :
"Artinya
: Langit dan bumi-Ku sempit bagi-Ku, akan tapi hati hamba-Ku yang
beriman lapang bagi-Ku"
Maka
hadits ini adalah hadits palsu menurut kesepakatan para ulama ilmu
hadits.
WIHDAH
AL-WUJUD
Pemahaman
hulul wa al-ittihad mengantarkan para sufi pada perkataan
wihdah al-wujud. Istilah ini berdasar pola pikir orang-orang
sufi bermakna, bahwa dalam hal ini tidak ada yang wujud kecuali
Allah. Maka, tidaklah segala yang nampak ini kecuali penjelmaan
dzat-Nya semata. Yaitu, Allah. Maha Suci Allah, Rabb kita, Rabb yang
Maha Mulia dari apa yang mereka sifatkan.
Ibnu
Arabi berkata : "Tidak ada yang tampak ini kecuali Allah, dan
tidaklah Allah mengetahui kecuali Allah".
Dan
termasuk dalam keyakinan ini adalah orang-orang yang mengatakan :
"Akulah Allah, Maha Suci Aku". Seperti, Abu Yazid
Al-Bustahmi. 18)
Katanya : "Rabb itu haq dan hamba
itu haq. Maka, betapa malangku. Siapakah kalau demikian yang menjadi
hamba ? Jika aku katakan hamba, maka yang demikian itu haq, atau aku
katakan Rabb, sesungguhnya aku hamba".
Dikatakan
pula : 19) "Suatu saat hamba menjadi Rabb tanpa
diragukan, dan suatu saat seorang hamba menjadi hamba tanpa
kedustaan".
Keberanian
mereka kepada Allah sampai puncaknya ketika tukang sya'ir mereka,
Muhammad Baha'uddin Al-Baithar mengatakan : 20) "Tidaklah
anjing dan babi itu melainkan sesembahan kita, dan tidaklah Allah itu
melainkan rahib-rahib yang ada dalam gereja-gereja".
Pensyarah
kitab Aqidah At-Thahawiyah, Ibnu Abil 'Izzi Al-Hanafi, berkata
: "Perkataan yang demikian itu mengantarkan manusia pada teori
hulul wa al-ittihad. Hal ini lebih keji daripada kafirnya
orang-orang Nashrani. Karena orang-orang Nashrani mengkhususkan
menyatunya Alllah hanya dengan Al-Masih, sedangkan mereka
memberlakukan secara umum terhadap seluruh mahluk. Termasuk keyakinan
mereka pula, bahwa Fir'aun dan kaumnya memiliki kesempurnaan iman,
sangat mengenal Allah secara hakiki.
Termasuk
dari cabangnya pula, bahwa para penyembah berhala berada diatas
kebenaran, dan mereka sesungguhnya beribadah kepada Allah, tidak
kepada lainnya. Keyakinan lainnya, tidak ada perbedaan dalam
penghalalan dan pengharaman antara ibu, saudara perempuan dan yang
bukan mahram. Dan tidak ada perbedaan antara air dengan khamer, zina
dengan nikah. Semuanya itu berasal dari sumber yang satu. Dan
termasuk cabangnya pula, bahwa para nabi mempersempit manusia. Maha
Tinggi Allah dari apa yang mereka katakan". 21)
Keyakinan
semacam ini merupakan puncak tertinggi dari kekafiran, yang dengannya
hancurlah seluruh agama, membatalkan seluruh syari'at, dihalalkan
seluruh perkara yang diharamkan, dan disamakannya orang yang beriman
dengan orang fasik, orang bertaqwa dengan orang binasa, muslim dengan
mujrim, yang hidup dengan yang mati. Berfirman Allah Subhanahu wa
Ta'ala :
"Artinya
: Apakah Kami hendak menjadikan orang-orang muslim seperti
orang-orang yang suka berbuat dosa, bagaimana kalian dengan apa yang
kalian putuskan. Apakah kalian mempunyai kitab yang dapat dibaca ?"
(Al-Qalam : 35-37).
Benar,
mereka mempunyai kitab selain Al-Qur'an, yaitu Al-Fushush Al-Hikam
dan Al-Futuhat Al-Makkiyah. Dan telah berfirman Allah
Subhanahu wa Ta'ala :
"Apakah
Kami hendak menjadikan orang yang beriman dan beramal shalih seperti
orang-orang yang membuat kerusakan di muka bumi. Ataukah Kami hendak
menjadikan orang-orang yang bertaqwa seperti orang-orang kafir".
(Shad : 28)
Dan
apa yang kami paparkan di sini bukanlah hasil istimbath kami
dan bukan pula ijtihad. Akan tetapi, semua itu adalah
perkataan mereka yang diucapkan dengan lisannya. Yang syaikh paling
senior diantara mereka selalu mengulang kekafirannya dan menyatakan
kefasikannya.
Bila
pembaca menghendaki hakikat yang kami paparkan dan dalil yang kami
kukuhkan, maka lihatlah kitab Al-Fathu Ar-Rabbani dan Al-Faidh
Ar-Rahmani, karangan Abdul Ghani An-Nablisi hal.
84,85,86,87.
Semoga
Allah memaafkan kita.
Footnote
:
13. Ihya'Ulumuddin, AL-Ghazali, I/19
14. Ath-Thawasin.
Al-Hallaj, cet. Masoniyah, hal. 139
15. Tablis Iblis, Ibnul Jauzi,
hal.145.
16. Majmu' Fatawa, Ibnu Taimiyah, XI/247-248
17.
Ma'arij At-Tashawuf Ila Laqaiq At-Tashawuf, Ahmad Bin 'Ajibah,
hal.139.
18. Al-Futuhat Al-Makiyah, I/354.
19. Fushush
Al-Hikam, hal.90
20. Shufiyat, hal.27
21. Syarh Al-Aqidah
Ath-Thahawiyah, hal.79
Borok-Borok Sufi
Salim
Al-Hilali dan Ziyad Ad-Dabij
Halaman
tiga dari tiga tulisan
CAHAYA
(NUR) MUHAMMADI
Termasuk
dalam madzhab wihdah al-wujud, ialah adanya keyakinan di kalangan
orang-orang sufi tentang masalah Aqthab, Autad, Abdal, Aghwats,
An-Najba (yakni beberapa istilah status, jabatan atau peringkat
di kalangan sufi), bahwa ruh Allah berdiam pada diri mereka sehingga
merekalah yang mengatur apa yang ada.
Mereka
menduduki kedudukan Allah dalam mencipta dan mengatur. Yang
demikianpun termasuk keyakinan Syi'ah terhadap para imamnya. Seperti
dikatakan Khumeini dalam kitabnya Al-Hukumah Al-Islamiyah hal.52 :
"Sesungguhnya imam mempunyai kedudukan yang terpuji dan derajat
yang tinggi, dan kekuasaan untuk mencipta serta tunduk di bawah
kekuasaannya seluruh unsur dari semesta ini. Dan termasuk madzhab
kami yang sangat penting pula, bahwa para imam kita mempunyai
kedudukan yang tidak dapat diraih oleh para malaikat terdekat pun,
dan tidak pula oleh nabi yang didekatkan. Dan berdasarkan
riwayat-riwayat yang ada pada kita, dengan hadits-haditsnya, bahwa
Rasul teragung Shallallahu 'alaihi wa sallam dan para imam,
mereka semua, sebelum adanya alam semesta ini berupa cahaya yang
dijadikan Allah mengelilingi Ars-Nya." 22)
Sesungguhnya
orang-orang sufi, dimana beribu-ribu kaum muslimin dari segala
penjuru dirangkul mereka, lalai ketika mengangkat orang-orang
tersebut (para imamnya) ke derajat ketuhanan atau yang mendekati hal
itu. Yaitu menjadikan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam
berkedudukan diantara mereka dalam mengatur semesta, baik masalah
penciptaan dan pengaturan, mendatangkan manfaat dan memberikan
madharat, qadha dan qadar .... Maka, mulailah mereka mengada-ngadakan
perkataan terhadap Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam
melalui teori Al-Haqiqah Al-Muhammadiyah yang mengeluarkan Rasulullah
dari alam manusia dan menjadikannya cahaya (nur). Dari cahaya
Muhammad itulah seluruh mahluk diciptakan.
"Artinya
: ... Sungguh besar perkataan yang keluar dari mulut mereka. Tiadalah
yang mereka katakan itu kecuali dusta". (Al-Kahfi : 5)
Berikut
ini sebagian dari perkataan mereka :
1.
Muhammad adalah asal semesta.
"Sesungguhnnya
akal yang pertama adalah dinasabkan kepada Muhamad. Karenanya Allah
menciptakan Jibril di waktu terdahulu. Maka Muhammad adalah bapak
bagi Jibril dan merupakan asal dari seluruh alam semesta". 23)
2.
Muhammad di atas 'Arsy.
"Mahluk
yang pertama adalah debu, dan mahluk yang pertama yang berwujud
secara hakiki adalah Muhammad yang disifatkan istiwa' di atas
'Arsy Ar-Rahmani, yaitu 'Arsy ilahi." 24)
3.
Cahaya Muhammad (nur Muhammadi) adalah cahaya Allah.
4.
Muhammad adalah penjaga atas semesta.
5. Semesta diciptakan
karena Muhammad.
Ibnu
Nabatah Al-Mishri berkata :
Kalau
bukan karenanya,
tidak adalah bumi dan tidak pula ufuk.
Tidak
pula waktu, tidak pula mahluk,
tidak pula gunung.
6.
Muhammad mengetahui yang gaib.
Berikut
ini dalil-dalil mereka yang mereka sembunyikan di balik
punggung-punggungnya :
Hadits
pertama.
"Artinya
: Pertama kali yang diciptakan Allah adalah cahaya nabimu, wahai
Jabir." (Hadits PALSU).
Hadits
kedua.
"Artinya
: Aku sudah menjadi nabi sedangkan Adam masih berwujud antara air dan
tanah". (Hadits PALSU. Lihat Syarah Jami'ash-Shagir III/91
dan Asna Al-Mathalib hal. 195).
Ini
adalah perkataan yang sangat lemah dan matan-nya mungkar.
Bukankah air adalah bagian dari tanah ? Adapun hadits shahih
berlafadz : "Artinya : Aku sudah menjadi Nabi, sedangkan Adam
adalah keadaan antara ruh dan jasad", tetapi ini pada ilmu
Allah yang azali.
Hadits
ketiga.
"Artinya
: Kalau tidak karena engkau, maka bintang-bintang itu tidak
diciptakan". (Shan'ani berkata bahwa hadits ini PALSU dan
disepakati Imam Syaukani dalam kitab Fawaid Al-Majmu'ah hl. 116).
Padahal
sesungguhnya Allah telah menutup berbagai jalan menuju perbuatan yang
melebih-lebihkan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam,
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman :
"Artinya
: Katakanlah, sesungguhnya aku ini adalah manusia seperti kamu semua.
Hanyasanya diwahyukan kepadaku (wahyu). Sesungguhnya sesembahanmu
adalah sesembahan yang Esa. Maka barangsiapa yang mengharapkan
bertemu dengan Rabbnya, hendaklah ia beramal dengan amalan yang
shalih dan tidak menyekutukan sesuatu pun dengan-Nya". (Al-Kahfi
: 110)
Dan
berfirman Subhanahu wa Ta'ala :
"Artinya
: Katakanlah, Maha Suci Rabbku. Bukankah aku ini hanya seorang
manusia yang menjadi rasul ?". (Al-Isra : 93)
Dan
berfirman Subhanahu wa Ta'ala :
"Artinya
: Katakanlah, tidaklah aku mengatakan kepada kalian semua bahwa aku
mempunyai perbendahaaran Allah, tidak pula aku mengetahui yang ghaib,
tidak juga aku katakan bahwasanya aku ini malaikat. Tidaklah aku
mengikuti kecuali apa yang diwahyukan kepadaku. Katakanlah, apakah
sama orang yang melihat dengan orang yang buta ? Apakah kalian semua
tidak berpikir ?". (Al-An'am : 50)
Telah
bersabda pula beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam :
"Artinya
: Janganlah kalian semua melebih-lebihkan aku seperti orang-orang
Nashrani melebih-lebihkan Isa anak Maryam. Sesungguhnya aku adalah
hamba, maka katakanlah hamba Allah dan utusan-Nya". (Hadits
Shahih Riwayat Bukhari dan Muslim)
Dan
telah bersabda Shallallahu 'alaihi wa sallam :
"Artinya
: Sesungguhnya aku ini adalah manusia yang dapat marah pula".
(Hadits Shahih Riwayat Bukhari dan Muslim)
Dan
riwayat lainnya yang sangat banyak. Inilah sifat-sifat kemanusiaan
yang di sandang Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam sejak
lahirnya hingga bertemu dengan Rabbnya. Beliaulah yang mengajak
manusia untuk mencontohnya dan menempuh jejak-jejaknya.
Kalau
bukan dari alam kita, tidaklah kita diperintahkan untuk mengikuti
beliau dan menjalani sunah-sunahnya. Siapakah yang lebih benar
perkataannya dari Allah, sedangkan Dia telah menyetujui hakikat ini
melalui lafadz-lafadz Qur'ani yang pasti dan terinci :
"Artinya
: Mereka berkata, kenapa tidak diturunkan kepada kita malaikat ?
kalau diturunkan kepada mereka malaikat, maka pasti telah
diselesaikan perkaranya (dengan dibinasakan mereka semua) kemudian
mereka tidak diberi tangguh. Dan kalau seandainya Kami turunkan
malaikat, pasti akan Kami jadikan dia seorang manusia, Kami-pun akan
jadikan mereka tetap ragu sebagaimana mereka kini ragu".
(Al-An'am : 8-9)
Dan
ketahuilah, semoga Allah menambahkan ilmu kepadamu, semesta ini
adalah mahluk yang diciptakan dengan tujuan tertentu. Yaitu beribadah
kepada Allah. Seperti dinyatakan dalam firman-Nya :
"Artinya
: Tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah
kepada-Ku". (Adz-Dzariyat : 56)
PENDIDIKAN
SUFI
Supaya
ajaran tasawuf mencapai tujuannya, mereka kenakan pada tokoh-tokohnya
sifat bebas dari dosa ('ishmah). Selain itu, menuntut kepada muridnya
agar bersikap seperti mayit di tangan yang memandikannya. Maka
janganlah engkau melampauinya dengan mengambil ilmu sufi dari guru
lain, karena seorang murid yang menimba ilmu dari dua guru ibarat
seorang wanita di tangan dua lelaki. 25)
Ibnu
Arabi berkata : "Sesungguhnya termasuk syarat imam batin,
hendaklah ia ma'shum (bebas dari dosa)" 26) Katanya lebih
lanjut : "Dan engkau, wahai para murid yang tertipu dan
tersesat, bantulah apa yang diinginkan terhadap engkau. Dan bersangka
baiklah, jangan membantah. Bahkan yakinilah. Dan manusia dalam
masalah ini mempunyai perkataan yang banyak. Tapi terserah dirilah,
niscaya engkau akan selamat. Dan Allah lebih mengetahui perkataan
para walinya." 27)
Kami
tidak mengetahui kenapa banyak ulama kaum muslimin berdiam diri
terhadap kekufuran dan keingkaran yang bersembunyi dalam pakaian
Islam yang bertujuan menipu, menyesatkan serta mengajak kaum muslimin
untuk meyakininya serta menegakkan agama mereka di atas asasnya ?
Sesungguhnya termasuk suatu kebaikan jihad di sisi Allah untuk
menghapuskan fitnah ini dari kalangan muslimin, karena sesungguhnya
fitnah lebih kejam dari pembunuhan.
Kenapa
kaum muslimin tidak terang-terangan memerangi mereka secara
keseluruhan demi tumbangnya kepalsuan-kepalsuan yang telah
memburamkan keindahan Islam ?
Bahkan
kenyataannya banyak kaum muslimin yang tersembelih kesesatan dan
kekufuran ini. Dan tidaklah menyelamatkan mereka dari keadaan yang
demikian ini kecuali usaha para ulama Islam untuk menyingkap
kebatilan-kebatilan tadi dengan berbagai bahasa dan dengan berbagai
kedudukan. Maka wahai Rabbku, bangkitkanlah orang-orang yang
memperbaharui agama-Mu ini, karena sesungguhnya kaum sufi telah
kembali bangkit dengan wajah baru pula.
Footnote
:
22. Al-Hukumat Al-Islamiyah, Khumeini, hal. 52
23.
Al-Insan Al-Kamil lil Jalil, hal.4
24. Futuhat Al-Makkiyah,
I/152
25. Ihya' Ulumuddin, I/50-51 dan III/75-76
26. Futuhat
Al-Makkiyah, III/183
27. Muqaddimah AL-Futuhat, I/5
0 comments:
Post a Comment